Kilas Balik Guru dari Masa ke Masa
Senin, 29 November 2021 05:41 WIB
Kilas Balik Guru dari Masa ke Masa
Sejarah panjang guru di negeri ini telah menjadi untaian kisah yang berseri. Dan setiap serinya terpahat pengabdian yang berliku, beronak dan berduri. Menjadi pembahasan yang menarik, klasik dan unik. Menarik karena guru punya perjuangan yang simpatik dan patriotik. klasik karena sejak dahulu perjuangannya mendidik, unik karena guru dari masa ke masa selalu menjadi sorotan yang spesifik, dilirik , tetapi juga ditindik.
Perjuangan guru masih menjadi misteri di beberapa kalangan. Tidak setiap orang mengetahui liku-liku perjuangan guru yang panjang dan melelahkan. Merekalah yang menanamkan benih-benih kebangsaan hingga tumbuh dan berbuah kemerdekaan. Merekalah yang mengisi peluru – peluru cinta di dada anak –anak bangsa untuk ditembakkan menjadi bunga-bunga api yang membara membakar semangat cinta tanah air. Mereka tak pernah minta bintang mahaputra atau segala macam cindera mata. Hanya melekat padanya pahlawan tanpa tanda jasa dan itu pun mereka tak pernah minta.
Dan kisah telah bicara tanpa dusta, berawal dari birahi penjajah yang menghisap darah dan menjarah tanah, memakan segala yang ada di atas dan di bawahnya. Mereka memakan jasad dan membunuh jiwa hingga air mata menjadi nanah. Punah segala peradaban, bahkan iman pun diusir dan hampir berujung kekufuran.
Pada masa-masa kritis itulah pahlawan tanpa lencana ini “bangkit dari kubur” menyatukan darah, tangan dan kaki ke dalam satu jiwa dan pikiran untuk berikrar bahwa BUMI POETRA HARUS CERDAS KALAU TIDAK INGIN DITINDAS.
Maka sebut saja nama Ki. Hajar Dewantara dengan Taman Siswa, Rasuna Said dengaan Thawalib, KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah, atau KH. Hasyim Ashari dengan NU, Muhammad Syafei dengan INS Kayu Tanam, RA. Kartini dengan buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Ruhana Kuddus, Martha Cristina Tiahahu, Nyi Ageng Serang, Opu Daeng Risadju, dan lain-lain. Mereka adalah tokoh-tokoh Pendidikan masa lalu dan jasa-jasanya kita rasakan sampai kini. Mereka mahaguru yang meniup ruhnya ilmu ke kepala dan menancapkan kesadaran kebangsaan kedalam atma-atma anak bangsa meski independensi mereka dibatasi dan dimata-matai Belanda, karena khawatir ada agenda besar yaitu kemerdekaan.
Tidak dipungkiri, bahwa menjadi guru pada waktu itu bukan untuk mencari harta, pangkat atau jabatan, semua dilakukan dengan suka rela hanya semata membuka mata hati dan cakrawala anak-bangsa tentang betapa pahitnya kebodohan dan kejamnya penjajahan.
Dan sejarah membuktikan kemudian bahwa pejuang-pejuang tanah air telah dididk oleh Kiyai-kiyai dipondok-pondok pesantren di Jawa, atau oleh guru-guru di sekolah Tahwalib di Sumatra, serta belahan daerah lainnya dengan semangat jihad memanggul senjata mengusir penjajah. Jelaslah, bahwa guru pada waktu itu bukanlah sekedar pendidik, tetapi justru menjadi pelopor pejuang bersama- sama dengan anak didiknya. Dari gurulah muncul pejuang-pejuang patriotik yang berjiwa nasionalis.
Dan masa merebut kemerdekaan, sebut saja Otto Iskandar Dinata misalnya, beliau adalah seorang guru yang menjadi pahlawan nasional masuk dalam barisan yang ikut “menculik “Bung Karno dalam peristiwa Rengas Dengklok sehari sebelum detik-detik kemerdekaan dikumandangkan Soekarno- Hatta.
Dan atas jasanya itu nama dan wajahnya diabadikan ke dalam lembaran mata uang dua puluh ribu.
Memasuki masa awal kemerdekaan para guru semakin didepan dalam mengisi kemerdekaan. Mereka menyadari perlunya suatu wadah organisasi yang akan membina mereka. Maka pada tanggal 25 November 1945 berdirilah Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI. PGRI merupakan organisasi profesi yang pertama lahir pasca kemerdekaan. Dan hari jadi PGRI inilah selalu kita peringati sebagai hari Guru Nasional.
Memasuki era orde baru pemerintah kian gencar mendirikan sekolah-sekolah guru seperti, SPG, SGO, KPG, IKIP dan SD Inpres merata sampai kepelosok tanah air. Pemerintah sangat menyadari bahwa kehadiran guru adalah tonggak peradaban bangsa.
Maka tidak heran jika kaisar Jepang Akihito, setelah kalah dalam perang dunia kedua bertanya kepada menteri: “Masih adakah guru yang tersisa?” “Kumpulkan mereka”. Karena para gurulah nanti yang akan mencetak tekhnorat, pejabat, aparat, tenaga medis, tentera, pengusaha d.ll. Para gurulah yang mengangkat peradaban dan marwah bangsa.
Dan jangan heran guru pada masa itu dilirik negara tetangga untuk dipinjamkan guna mendidik warganya, walaupun ada nada miring yang mengatakan guru kita “kalah kelas” dari mereka baik kualitas maupun kesejahteraannya.
Memang harus kita akui pada masa itu menjadi guru adalah pilihan sulit. Di samping gajinya kecil juga kalah pamor dari profesi lainnya. Maka tidak heran para guru kebanyakan berasal dari latar belakang sosial menengah kebawah. Mereka kebanyakan mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti bertani, berdagang, dan banyak juga yang terpaksa mengojek dengan motor kreditan.
Memasuki era reformasi pamor guru mulai “naik kelas” semenjak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau Sisdiknas diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Yang menegaskan bahwa guru dan dosen adalah bidang profesi yang profesional dengan kompetensi akademik dan peadagogik yang dimiliki dan dikuasainya. Tidak semua orang bisa menjadi guru karena memerlukan keahlian khusus bidang profesional dan peadagogik. Keduanya melekat padanya.
Dan guru tergabung dalam satu wadah organisasi profesi yang berbadan hukum yaitu PGRI, seperti halnya Ikatan Dokter Indonesia atau IDI.
Dan kepadanya diberikan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan sertifikasi yang dilaluinya dan kepadanya diberikan tunjangan sebesar gaji pokok yang dipunyainya.
Kini geliat memilih profesi yang luhur ini seperti jamur tumbuh pada musim hujan dan banyak diperebutkan di negeri ini. Bertahun-tahun profesi ini dipandang sebelah mata oleh banyak kalangan. Kini Profesi ini tidak lagi dilirik sebelah mata, tetapi oleh kedua mata, karena memiliki peluang kerja yang lebih luas, lebih banyak dibutuhkan oleh negara maupun oleh yayasan-yayasan yang bergerak dibidang pendidikan dan yang lebih menarik lagi karena adanya tunjangan sertifikasi sebagai penunjang kemakmuran keluarga.
Namun, tantangan kedepan semakin besar karena guru dihadapkan kepada persoalan mutu yang sangat substansial untuk disoalkan. Anggaran yang membengkak rupanya belum menjanjikan kemajuan yang signifikan, para spekulan terus berpolemik dimedsos, bergunjing tentang profesi yang satu ini tiada habis-habisnya. Seakan mereka lebih tahu dan lebih merasa hakikat guru yang sesungguhnya.
Namun terlepas dari semuanya itu, Guru harus tetap optimis menatap masa depan bangsa dengan ing ngarso sungtuludo, ing rudyo mangun karso, tut wuri handayani.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Kilas Balik Guru dari Masa ke Masa
Senin, 29 November 2021 05:41 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler